Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

INSPIRASI SETITIK DEBU

Written By i_Tb on Selasa | 09.21

Sebuah majalah tergeletak tanpa daya di meja kerjaku. Tanpa berpikir panjang aku pun tertarik untuk melihat apa isi yang ada di dalam majalah tersebut. Memang dari bentuknya sangat unik. Sudah kecil, lumayan tebal serta bersampul soft bila aku melihatnya. Enak dipandang mata minusku. Tanpa kusadari majalah itu pun menarik rasa penasaranku. Menarik untuk kubaca!


Dus, aku pun melihat-lihat isi yang ada di dalamnnya. Ternyata…Boleh juga nih majalah. Isinya bagus juga. Tanpa sadar bibirku mengucapkan kata itu.
Halaman demi halaman kulihat isi majalah itu. Satu-dua halaman kulihat ternyata sekilas isinya sama dengan majalah serupa yang sering kali kulihat dan kubaca. Sangat klise memang ketika aku melihat dan membacanya. Tetapi ketika aku ingin membuka halaman demi halaman majalah itu lagi tiba-tiba tanpa disengaja majalah itu jatuh dari tanganku ke kolong meja kerjaku. Tak di sengaja tersenggol tanganku saat tergesa-gesa membacanya. Dan ketika majalah itu jatuh aku pun lantas mengambilnya kembali dan ingin menyudahinya. Namun ketika aku ingin menutup majalah itu aku melihat halaman majalah itu yang membuat aku tertarik untuk membacanya kembali.

Monolog Debu. Itulah judul sebuah halaman majalah yang membuat aku tertarik untuk membacanya kembali. Cerpen, nama rubrik sebuah halaman majalah yang mebuat aku terpikat itu. Ya, sebuah cerpen yang membuat aku tertarik! Dimana di dalam pesan cerpen itu menyadarai diriku. Apalagi ketika aku membacanya, sampai sekarang pun aku masih ingat betul kalimatnya yang membuat aku belajar dari hal itu. Dan inilah kata-kata yang sampai ini terekam di benakku :
Angin kemarau masih terus saja memainkanku seperti guratan nasib. Membenturtkan kian kemari, setia menapak kawan melahirkan keluh. Aih, dasar makhluk kurang ajar… kau selalu saja mengotoriku, keluh daun.

Bahkan bunga masih memusuhiku sampai sekarang.”Kau merusak kecantikan parasku, kau tak pernah tahu nilai sebuah keindahan,” jeritnya suatu hari, ketika aku menyapanya.
Aku adalah turab. Hidupku selalu berpindah tempat, berkelana mengelilingi sejagat. Telah kusinggahi berbagai tempat di belahan bumi mengikuti perjalanan angin dan perputaran mentari.
Aku adalah turab, berayah langit dan beribu bumi. Kujalani hidup mengembang dawuh agung Kanjeng Gusti. Meski kadang tak kumengerti mengapa begitu mengapa begini.

Disini baru kusadari betapa aku jauh lebih mulai, lebih beruntung dari manusia, sang khalifah. Yah, baru kusadari makna dari Kanjeng Gustiku yang menceritakan, betapa di pengadilan-Nya selaksa manusia menangis dan berkata,” Ya laitanii kuntu turaaba…” (dikutip dari sebuah cerpen berjudul Monolog Debu—karya Iffeth AS ).

Sampai hari ini saya menyadari tentang kekeliruan saya selama ini. Ya, saya sering menyepelekan hal-hal kecil. Padahal hal kecil pun belum tentu lebih baik dan lebih berarti dari saya, khususnya yang selama ini mengangap hal-hal yang kecil menurut pandangan saya kecil itu tak berguna. Halnya seperti penderitaan setitik debu yang tak disukai oleh ciptaan-Nya merasa dirinya (daun dan bunga). Namun sebaliknya ketika hari akhir kiamat tiba mereka para ciptaan-Nya yang mengagung-agungkan kecantikan dan keindahannya itu serta yang telah menghina dan mengejek setitik debu, mereka pun berlomba-lomba meratap dan menangisi kekeliruannya. Mereka ingin seperti dirinya. Setitik debu. Ya laitanii kuntu turaaba…” (Q.S An-Nabaa:40)

Artikel Terkait:

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mantap...

I like this

salam dari blogger medan community

Posting Komentar